Konflik Agraria Menjadi Masalah Kita Bersama

                             
                                Penulis: Freed Auwati Maday*


Tak hanya kami (orang Papua) saja yang mengalami perampasan tanah (agrarian: hak ulayat) oleh pemodal dan Negara, tetapi mereka (non Papua) juga mengalami nasip yang sama, yang di rasahkan oleh oleh orang Papua.

Wajar jika masalah agraria (perampasan tanah) saat ini di Papua—mengingat Pernyataan mengusir orang Papua dari tanah Papua oleh Ali Moertopo dan Mentri Polhukam, Luhut Panjahitan Babinsar, dan di realisasikan dalam tindakan kolonisasi dan eskploitasian—karena dengan ini, kita mau bebas untuk menentukan Nasip Sendiri sebagai bangsa yang, minimal, memiliki hak atas tanah, air, dan udarahnya sendiri.

Tetapi, kita melihat bahwa perampasan tanah juga sudah dan sedang terjadi di ke-pulauan Nusantara ini. Tentunya dengan adanya keresahan dalam keberadaan masyarakat, tengah-tengah kehilangan properti hidup, mulai bangkit gerakan-gerakan rakyat dalam jumlah kuantitas. Diantaranya, gerakan massa rakyat tolak penggusuran di Parangkusumi, Kulon Progo, Pati, Rembang, Pegunungan Kendeng, di daerah Sulawesi, Jambi, dan hampir seluruh nusantara ini mengalami nasip yang sama.

Beberapa waktu lalu, saya hadir bersolidaritas dalam di aksi para Petani menolak pembangunan PT. Semen Indonesia (PT.SI: read) di kabupaten Rembang dan Pati. Aksi yang di warnai semangat revolusioner dalam jumlah ratusan massa di depan Kantor Gubernur Semarang, (10/9). Kehadiran Aliansi Mahasiswa Papua dalam bersolidaritas, pada prinsipnya adalah AMP memandang musuh yang sama (walaupun pola pendetakan di papua sangat militeristik dan tak manusiawi). Musuh rakyat tertindas (orang Papua dan para petani di Nusantara ini) adalah kapitalisme: pemodal beserta militer yang selalu menghadang-hadang dan membungkam suara rakyat tertindas.

Di Rembang, hampir seratus hari, sejumlah warga Desa di kaki Gunung Watuputih-Rembang, bergantian tinggal di tenda, di lahan yang rencananya akan dijadikan bagian dari proyek pabrik semen. Pabrik ini didirikan oleh PT Semen Indonesia; merupakan produsen semen raksasa berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sebagai bahan baku, menurut rencananya, PT.SI akan menambang batu karst di Pegunungan Kendeng. Pegunungan yang membentang di wilayah utara Jawa Tengah dan Jawa Timur ini diyakini menjadi pemasok kebutuhan air bagi kawasan pertanian di sekitarnya. Karena itulah, menurut Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Ming Ming Lukiarti, bersama warga menolak langkah apapun terkait pendirian pabrik semen karena diyakini akan merusak sumber daya air dan mematikan sektor pertanian.

"Cekungan air tanah Watuputih itu adalah kawasan lindung geologi, dan itu yang akan ditambang. Karena itulah kami kemudian protes, sampai ibu-ibu itu sekarang masih di tenda hampir seratus hari. Gunung itu merupakan penyimpan dan sumber mata air untuk masyarakat bukan hanya untuk yang ada di sekitarnya, tetapi juga untuk warga Rembang Kota," kata Ming Ming Lukiarti, ketika di aksi. Konflik seratus hari terakhir ini terjadi karena PT Semen Indonesia telah mulai mendirikan bangunan pabrik pada pertengahan Juni lalu. Perjalanan panjang penolakan terjadi sejak sekitar tahun 2010, ketika sosialisasi mulai dilakukan.

Penolakan juga terjadi di wilayah kaki Pegunungan Kendeng yang lain, yaitu Kabupaten Pati, di mana PT Indocement sejak tiga tahun lalu telah memulai studi pendirian pabrik semen.
Penolakan pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang dan Pati ini tidak jauh berbeda dengan penolakan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Nabire, Arso-Keerom, Merauke, Timika, perampasan lahan petani di Merauke, dan hampir seruluh pulau Papua sudah di patok-patok dalam skala wilayah oleh pemodal asing dan lokal-Negara. Ada 20an perusahaan milik swasta dan asing di Papua (baca; ampnews.org: Sejarah Papua Barat dan Fakta di Balik Pernyataan: Ali Murtopo dan Luhut Binsar Pandjaitan – oleh Sony Dogopia).

 Seperti dilansir SuaraPapua (25/1), di Papua, "…perusahaan yang berinvestasi di bidang perkebunan kelapa sawit mendapat penolakan masyarakat setempat (pemilik hak ulayat) karena dituduh melakukan perampasan tanah adat, perusakan lingkungan hidup, peminggiran masyarakat adat, dan pelanggaran HAM lantaran melibatkan pasukan militer sebagai pelindung kawasan investasinya."
Kebijakan yang dinilai bertolak belakang dengan janji Presiden Widodo untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong; dirumuskan dalam sembilan agenda prioritas atau dikenal dengan sebutan Nawacita. Hal itu tak jauh berbeda dengan rezim sebelumnya tentang janji-jani manis yang tak terealisasikan.

Dalam pengalaman hidup orang Papua, kehadiran perusahaan terbukti belum sepenuhnya memberikan manfaat sosial dan ekonomi berarti untuk memajukan kualitas hidup Orang Asli Papua. Kami hanya dijadikan ladang pemerasan untuk investor dan pejabat pendukungnya, sedangkan masyarakat asli hanya menjadi penonton dan berkonflik menjadi korban kekerasan pelanggaran HAM.

Mengapa persoalan tanah menjadi Masalah kita bersama?

Banyak orang menganggap persoalan tanah adalah hal sederhana. Masalah tersebut yang berhadapan adalah masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan kelompok kapitalisme, dan masyarakat sipil dengan masyarakat transmigrasi. Masalah hak ulayat ini banyak memakan korban nyawa. Dari tahun ke tahun, masyarakat sipil Papua mengalami konflik yang berkepanjangan, yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah soal pengaturan tanah yang lebih pro investor. Pemerintah setempat tidak memperhatikan kasus-kasus ini dengan baik. Masyarakat menjadi penonton dan pengemis di atas negerinya sendiri.

Kondisi ini ini menunjukan nasip yang sama kepada rakyat tertindas di Pulau Papua dan luar Papua tentunya. Negara sudah tak bisa lagi untuk menyelamatkan masa depan anak-cucu setiap suku-suku bangsa. Justru negara di jadikan alat pemodal untuk meloloskan, juga memupuk kapitalnya. Maka di akhir kalimat ini saya pertegas topik tulisan ini bahwa kita di jajah oleh sebuah alat penjajah yang sama. Yakni kapitalisme yang punya sifat eksploitatif dan militerisme yang bersifat represif dan reaksioner. Maka kekuatan rakyat Papua dan luar Papua: Jawa, Sumatra, Jambi, dan masyarakat terpinggir akibat tanah di monopoli oleh kaum penguasa, kita tidak bisa mengandalkan kekuaran rasis, agama, dan segalah macamnya. Kita adalah sama-sama di tindas oleh satu penguasa, yakni penguasa yang mementingkan dirinya. Maka persoalan agraria, persoalan perampasan tanah adalah persoalan kita bersama. Terima Kasih. Salam Juang!




Penulis adalah aktivis Papua, kuliah di kota Semarang, juga aktif sebagai anggota AMP komite kota.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KATA-KATA BIJAK ANAK PAPUA>By,Mepa..(03)

HATI INI RINDUH SELALU UNTUKNYA

Statement Deklarasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WEST PAPUA)